Minggu, 29 Desember 2013

Merebahkan Penat di Alun-Alun

Sejak menjejakkan kaki pertama kali Kota Malang, Alun-alun kota adalah tempat yang paling sering saya kunjungi. Selain mudah dijangkau karena cukup satu kali menggunakan angkot dari tempat kost, tempat ini juga berdekatan dengan sejumlah pusat perbelanjaan, baik yang modern maupun tradisional. Sekitar beberapa ratus meter dari alun-alun, ada pasar yang menjadi sentra perdagangan berbagai komoditi di Kota Malang. Ibu kost memberitahu kalau pasar itu adalah bernama Pasar Besar. “Harganya murah-murah di sana” ujarnya setengah promosi. Di Pasar Besar ini, aroma kedaerahan yang identik dengan intensitas tawar menawar yang tinggi dan penataan dagangan apa adanya, membungkus kuat berbagai transaksi antara penjual dan pembeli. Tapi sisi itulah barangkali yang membuat pasar, dengan suasana yang amat mirip dengan Makassar Mall, ini mampu bertahan di tengah gempuran pasar-pasar modern.


            Kok malah bahas pasar? Back to the laptop. Sebagai orang perantauan yang awam soal dinamika sosial masyarakat Malang, Alun-alun yang dulunya tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan dan tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah raja kepada kawula, adalah celah paling lebar leluasa untuk dapat mengintip potret kecil masyarakat Malang. Pengunjung tempat ini tidak hanya berasal dari kalangan bawah tetapi juga dari kalangan atas. Tengok saja pelataran parkirnya.  Selain disesaki ratusan sepeda motor juga dipenuhi oleh berbagai jenis mobil, mulai yang murah (walapun tidak murah menurut ukuran saya) sampai yang sejenis Jeep Hammer (tongkrongan kaum the have).    
            Apa yang menarik dari Alun-alun kota ini sampai tak pernah sepi pengunjung? Bagi saya, tempat yang dikelilingi sejumlah beringin raksasa ini adalah  surga bagi pedagang kaki lima. Mulai dari pedagang asongan, jam tangan, aksesoris, kaos, celana, mainan, poster, buku, kacamata, kopiah, blankon, gantungan kunci, jagung bakar, tahu goreng, kopi, dan ragam pedagang lainnya tumpah ruah.  Landscape alun-alun yang didominasi pedagang, menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang untuk mampir melihat-lihat lalu membeli. Selalu ada transaksi di sini.


            Alun-alun juga adalah surga bagi anak-anak kecil. Kita mudah menemukan pasangan muda dengan anak kecil yang matanya berbinar-binar. Bahkan keluarga tua, juga rajin hilir mudik di tempat ini. Inilah tempat keluarga hemat memanjakan anak. Setiap sore, sejumlah pertunjukkan selalu mewarnai keramaian alun-alun. Ada pertunjukkan wayang orang yang diperankan anak-anak kecil. Ada pertunjukkan topeng monyet yang menggemaskan. Penonton (yang murah hati) cukup memasukkan selembar atau dua lembar uang seribuan pada mangkuk bekas tempat sabun seusai pertunjukkan. Uang koin lima ratus perak pun tak jadi masalah.


            Setiap kali keluarga kecil saya datang dari Sulawesi, alun-alun selalu menjadi destinasi pertamauntuk memperlihatkan kepada mereka betapa semaraknya kota ini. Berada di tempat yang menyatukan hasrat berbagai orangtua muda untuk menghadirkan sejumput kebahagiaan bagi anak-anaknya, selalu adalah kesan unik yang mekar di hati saya karena tanpa sadar, tempat yang sejuk ini kadang telah menjadi tempat saya membaringkan sedikit kepenatan sekaligus “melarikan diri” dari target-target akademik yang selalu ada setiap pekan. Tempat ini juga menjadi tempat saya mengais-ngais bahagia melalui sepercik kenangan saat dua jagoan kecil saya tak lagi menemani karena harus pulang ke tanah Sulawesi.
            Selarik pertanyaan membuncah di hati saya. Mengapa di tanah sulawesi kami tak punya alun-alun? Mengapa tak ada tempat di sana yang setidaknya, fungsinya mirip dengan alun-alun, tempat yang menjadi pusat interaksi berbagai kalangan masyarakat tanpa motif kapital? Apakah roda pembangunan sudah tidak lagi menyisakan ruang-ruang kosong bagi kami untuk menyatu dalam sebuah celah kecil di tengah derap pembangunan dan perebutan kursi kekuasaan?
            Tradisi alun-alun di Pulau Jawa memang tidak setenar di Sulawesi. Tradisi alun-alun setahu saya ada di Makassar yaitu di Lapangan Karebosi. Sewaktu kuliah S1 tahun 90-an, semangat berbaur masyarakat kota masih nampak merona di Kota Daeng. Tak heran, pemandangan  lapangan karebosi nyaris sama dengan pemandangan Alun-alun Malang. Setiap sisinya selalu diramaikan dengan aneka pedagang kecil yang mencari nafkah dengan untung yang tak seberapa. Adapula tempat unik, yaitu lapak catur yang selalu dikerumuni orang yang mencoba menjajal kemampuannya bermain catur. Saban minggu, saya sangat suka ke lapangan karebosi. Namun seiring waktu, tradisi Alun-alun itu menguap seketika saat pemerintah kota memutuskan membangun mall bawah tanah di Lapangan kebanggaan masyarakat Makassar.
Sekeliling Lapangan  Karebosi, yang jauh lebih luas dari Alun-alun Kota Malang, kini telah dipagari dengan jeruji besi. Tampak indah dan bersih. Tetapi ada asa yang terpenjara oleh jeruji pagar besi itu. Riak interaksi masyarakat lapis bawah kini itu tak lagi menjadi bagian hiruk pikuk kota. Mereka disingkirkan. Citra diri lapangan karebosi sebagai landmark masyarakat Makassar yang senang bersosialisasi, telah berganti menjadi landmark kota dengan roda perekonomian yang melaju tinggi.

Tulisan yang sama dapat dibaca di Kompasiana di sini