Sejak menjejakkan kaki pertama kali Kota Malang,
Alun-alun kota adalah tempat yang paling sering saya kunjungi. Selain mudah
dijangkau karena cukup satu kali menggunakan angkot dari tempat kost, tempat ini
juga berdekatan dengan sejumlah pusat perbelanjaan, baik yang modern maupun tradisional.
Sekitar beberapa ratus meter dari alun-alun, ada pasar yang menjadi sentra
perdagangan berbagai komoditi di Kota Malang. Ibu kost memberitahu kalau pasar
itu adalah bernama Pasar Besar. “Harganya murah-murah di sana” ujarnya setengah
promosi. Di Pasar Besar ini, aroma kedaerahan yang identik dengan intensitas tawar
menawar yang tinggi dan penataan dagangan apa adanya, membungkus kuat berbagai
transaksi antara penjual dan pembeli. Tapi sisi itulah barangkali yang membuat
pasar, dengan suasana yang amat mirip dengan Makassar Mall, ini mampu bertahan di
tengah gempuran pasar-pasar modern.
Kok
malah bahas pasar? Back to the laptop.
Sebagai orang perantauan yang awam soal dinamika sosial masyarakat Malang, Alun-alun
yang dulunya tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan dan tempat
penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah raja kepada kawula, adalah celah
paling lebar leluasa untuk dapat mengintip potret kecil masyarakat Malang. Pengunjung
tempat ini tidak hanya berasal dari kalangan bawah tetapi juga dari kalangan
atas. Tengok saja pelataran parkirnya. Selain
disesaki ratusan sepeda motor juga dipenuhi oleh berbagai jenis mobil, mulai
yang murah (walapun tidak murah menurut ukuran saya) sampai yang sejenis Jeep
Hammer (tongkrongan kaum the have).
Apa
yang menarik dari Alun-alun kota ini sampai tak pernah sepi pengunjung? Bagi saya,
tempat yang dikelilingi sejumlah beringin raksasa ini adalah surga bagi pedagang kaki lima. Mulai dari
pedagang asongan, jam tangan, aksesoris, kaos, celana, mainan, poster, buku,
kacamata, kopiah, blankon, gantungan kunci, jagung bakar, tahu goreng, kopi,
dan ragam pedagang lainnya tumpah ruah. Landscape alun-alun yang didominasi pedagang,
menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang untuk mampir melihat-lihat lalu
membeli. Selalu ada transaksi di sini.
Alun-alun
juga adalah surga bagi anak-anak kecil. Kita mudah menemukan pasangan muda dengan
anak kecil yang matanya berbinar-binar. Bahkan keluarga tua, juga rajin hilir
mudik di tempat ini. Inilah tempat keluarga hemat memanjakan anak. Setiap sore,
sejumlah pertunjukkan selalu mewarnai keramaian alun-alun. Ada pertunjukkan
wayang orang yang diperankan anak-anak kecil. Ada pertunjukkan topeng monyet
yang menggemaskan. Penonton (yang murah hati) cukup memasukkan selembar atau
dua lembar uang seribuan pada mangkuk bekas tempat sabun seusai pertunjukkan.
Uang koin lima ratus perak pun tak jadi masalah.
Setiap
kali keluarga kecil saya datang dari Sulawesi, alun-alun selalu menjadi destinasi
pertamauntuk memperlihatkan kepada mereka betapa semaraknya kota ini. Berada di
tempat yang menyatukan hasrat berbagai orangtua muda untuk menghadirkan
sejumput kebahagiaan bagi anak-anaknya, selalu adalah kesan unik yang mekar di
hati saya karena tanpa sadar, tempat yang sejuk ini kadang telah menjadi tempat
saya membaringkan sedikit kepenatan sekaligus “melarikan diri” dari target-target
akademik yang selalu ada setiap pekan. Tempat ini juga menjadi tempat saya mengais-ngais
bahagia melalui sepercik kenangan saat dua jagoan kecil saya tak lagi menemani karena
harus pulang ke tanah Sulawesi.
Selarik
pertanyaan membuncah di hati saya. Mengapa di tanah sulawesi kami tak punya
alun-alun? Mengapa tak ada tempat di sana yang setidaknya, fungsinya mirip dengan
alun-alun, tempat yang menjadi pusat interaksi berbagai kalangan masyarakat tanpa
motif kapital? Apakah roda pembangunan sudah tidak lagi menyisakan ruang-ruang kosong
bagi kami untuk menyatu dalam sebuah celah kecil di tengah derap pembangunan
dan perebutan kursi kekuasaan?
Tradisi
alun-alun di Pulau Jawa memang tidak setenar di Sulawesi. Tradisi alun-alun
setahu saya ada di Makassar yaitu di Lapangan Karebosi. Sewaktu kuliah S1 tahun
90-an, semangat berbaur masyarakat kota masih nampak merona di Kota Daeng. Tak
heran, pemandangan lapangan karebosi
nyaris sama dengan pemandangan Alun-alun Malang. Setiap sisinya selalu diramaikan
dengan aneka pedagang kecil yang mencari nafkah dengan untung yang tak
seberapa. Adapula tempat unik, yaitu lapak catur yang selalu dikerumuni orang yang
mencoba menjajal kemampuannya bermain catur. Saban minggu, saya sangat suka ke
lapangan karebosi. Namun seiring waktu, tradisi Alun-alun itu menguap seketika
saat pemerintah kota memutuskan membangun mall bawah tanah di Lapangan kebanggaan
masyarakat Makassar.
Sekeliling Lapangan Karebosi, yang jauh lebih luas dari Alun-alun Kota
Malang, kini telah dipagari dengan jeruji besi. Tampak indah dan bersih. Tetapi
ada asa yang terpenjara oleh jeruji pagar besi itu. Riak interaksi masyarakat lapis
bawah kini itu tak lagi menjadi bagian hiruk pikuk kota. Mereka disingkirkan. Citra
diri lapangan karebosi sebagai landmark
masyarakat Makassar yang senang bersosialisasi, telah berganti menjadi landmark kota dengan roda perekonomian
yang melaju tinggi.Tulisan yang sama dapat dibaca di Kompasiana di sini