Usai menyaksikan the famous sunrise, destinasi selanjutnya adalah ke TKP utama yaitu
Gunung Bromo. Masih menggunakan pick up, rombongan kami pun meluncur turun
menyusuri jalan yang masih berkelok-kelok. Menurutku kontur jalan dari
Penanjakan ke Bromo terbilang curam. Kirinya jurang sebelah kanannya hutan.
Kendati sudah diaspal, sopir dituntut waspada. Kondisi kendaraan, terutama rem,
harus dalam performa terbaik. Sebab jika saja rem tiba-tiba blong, ya
sudah…gelap! Di beberapa titik, ada papan peringatan “gunakan gigi 1 turunan
curam”. Maksudnya dengan gigi 1 , laju kendaraan akan berkurang karena adanya
engine break jadi sopir tidak perlu
menekan pedal rem terus menerus. Bisa hangus tu kampas.
Kenyang menikmati kesegaran savana, mobil kami melaju menuju destinasi rakhir yaitu puncak Bromo. Kawasan ini di kelilingi lautan pasir yang cukup luas. Sekitar seratusan jeep nampak berjejer di parkiran khusus. Untuk mencapai puncak Bromo, kita harus berjalan kaki melewati hamparan pasir. Jika tidak kuat berjalan kaki anda bisa menunggang kuda. Uang sewanya antara Rp 25 ribu – Rp 100 ribu (tergantung nego). Beberapa kawan, terutama yang ibu-ibu, mengurungkan niat mendaki puncak akibat kelelahan.
Sebelum benar-benar mencapai puncak dan menyaksikan kawah gunung yang disucikan penduduk tengger itu, kami harus melewati 250 anak tangga yang terjal. Beruntung hari itu bukan hari libur sehingga tangga yang lebarnya cuman satu meter itu tidak disesaki pengunjung. Benar-benar melelahkan! Tapi, Alhamdulillah karena rasa penasaran yang luar biasa, aku bersama Hamzah, Hana, Titin, Yan, dan Pras sampai juga di bibir kawah. Aroma belerang pun menyeruak di hidung kami. Tepian kawah diberi pagar cor untuk keamanan pengunjung. Setiap tahun, penduduk Tengger yang beragama Hindu melabuhkan sesajen di kawah ini. Sesajen berupa hasil tani atau ternak diberikan sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur mereka terhadap Sang Pencipta.
Menggunakan pick up terasa jauh lebih nikmat.
Benar! Kami lebih leluasa menikmati indahnya panorama pagi dan segarnya udara hutan di sepanjang jalan.
Apalagi, kawan-kawan terutama Pak Pras dan
Pak Yan selalu melucu, suasana jadi lebih fresh. Udara beku yang semalam
kami rasakan perlahan mencair. Kalau pakai jeep, kendati lebih nyaman dan aman,
tetapi kita gak akan seleluasa di atas pick up.
Saat punggung Gunung Batok yang bergurat-gurat
anggun mulai terlihat jelas dibalik pepohonan, beberapa kawan refleks berseru “Ya Allah indahnya”…”Subhanallah indahnya”…”Menyesal seandainya aku tak ikut”.
“Ayo pak, direkam…difoto!” seru Bu Baiq, kawan kami dari Lombok, sembari
menyodorkan kameranya padaku. Yang lain juga tidak mau ketinggalan momen indah
itu. Memang betul-betul indah!!
Tempat pertama yang kami tuju adalah padang
savana. Savana Bromo,sebuah tempat yang terletak di selatan Gunung Bromo,
terletak pada sebuah lembah hijau yang di kelilingi tebing-tebing menjulang
tinggi dan beberapa punggungan gunung kecil (kami menyebutnya Bukit
Teletabies). Padang rumput Bromo sangat luas. Jika ke savana anda akan
merasakan seolah-olah tidak berada di Gunung Bromo. Kontras sekali karena jalur
mencapai savana adalah lautan pasir. Spesies rumput dan herba yang tumbuh di
Savana Bromo sangat unik karena di tempat lain aku tidak pernah melihat tanaman
seperti itu sebelumnya.
Sebelum benar-benar mencapai puncak dan menyaksikan kawah gunung yang disucikan penduduk tengger itu, kami harus melewati 250 anak tangga yang terjal. Beruntung hari itu bukan hari libur sehingga tangga yang lebarnya cuman satu meter itu tidak disesaki pengunjung. Benar-benar melelahkan! Tapi, Alhamdulillah karena rasa penasaran yang luar biasa, aku bersama Hamzah, Hana, Titin, Yan, dan Pras sampai juga di bibir kawah. Aroma belerang pun menyeruak di hidung kami. Tepian kawah diberi pagar cor untuk keamanan pengunjung. Setiap tahun, penduduk Tengger yang beragama Hindu melabuhkan sesajen di kawah ini. Sesajen berupa hasil tani atau ternak diberikan sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur mereka terhadap Sang Pencipta.
Puas bermain di bibir kawah gunung yang sudah tiga kali meletus itu, kami pun bergegas turun. Hembusan angin yang menerbangkan pasir mulai bermunculan. Beberapa kali kami harus menutup rapat-rapat bagian kepala untuk menahan badai pasir. Sinar matahari juga semakin menyengat. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk tiba kembali di pelataran parkir. Jejak kaki kami di hamparan pasir Bromo sudah menghilang tertiup angin. Namun jejak kenangan, kekaguman, dan kebersamaan kami telah melebur dalam butiran-butiran pasir dan aroma edelweis Bromo.