Minggu, 29 Mei 2016

Mereduksi Tindakan Kekerasan Guru terhadap Peserta Didik



      Refleksi atas penahanan Guru Nurmayani di Bantaeng


Berita penahanan guru Nur-mayani oleh aparat hukum di Kabu-paten Bantaeng karena dugaan tindak kekerasan pada siswanya, pertengahan Mei 2016 kemarin, telah membuat pela-ku pendidikan terhenyak. Penahanan tersebut menjadi pembicaraan hangat khususnya di kalangan guru-guru bah-kan meluas hingga ke sosial media. Sebenarnya kita tidak benar-benar terkejut dengan berita ini karena berb-agai kasus dugaan tindak kekerasan oleh guru terhadap siswa, sudah sering menghias media massa baik cetak maupun on line. 

Di kalangan guru-guru, kasus-kasus pemberian hukuman pada siswa yang berujung di ranah hukum tentu saja meresahkan karena adanya kesadaran diri bahwa posisi mereka sangat rawan mengalami kejadian yang sama dengan guru terduga pelaku kekerasan yang harus mendekam dibalik jeruji. Jika tidak berhati-hati dalam berinteraksi dengan siswa, maka guru akan dengan mudah terperangkap pada tuntutan hukum.  Apalagi dengan adanya undang-undang perlindungan anak, ‘kekuasaan’ guru terhadap peserta didik kian mengecil.  Zaman memang sudah berubah. Dahulu, orangtua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada guru. Orangtua bisa menjadi malu bila mendapat laporan tentang pelanggaran atau perilaku tidak terpuji anaknya di sekolah sehingga laporan akan dilanjutkan orangtua dengan memberikan hukuman tambahan pada si anak. 

Tak heran bila era tahun 70-an sampai 90-an, siswa-siswa enggan melaporkan kekerasan yang dialami di sekolah kepada orangtuanya. Kebalikannya saat ini,  orangtua mudah geram saat menerima laporan sepihak dari anaknya. Tanpa verifikasi ke pihak sekolah, ada orangtua yang amukan di sekolah dan ada mengadu ke pihak berwajib. Terlepas dari pergeseran pola perilaku orangtua masa kini, layak kita menyimak kajian disertasi Dr Djamal dari UIN Sunan Kalijaga tentang tindak kekerasan di sekolah. Mengapa guru menjadi mudah memberikan hukuman fisik kepada siswa? Djamal  mengungkapkan ada dua penyebab utama. Pertama, faktor internal yang meliputi rendahnya kompetensi guru dalam mengelola kelas, masalah dalam keluarga, masalah kesehatan fisik, disposisi agresif, dan kerentanan emosi. Kedua, faktor eksternal yang meliputi pelanggaran tata tertib sekolah, siswa ribut saat pembelajaran, sikap dan perilaku siswa yang dianggap meremehkan guru. 

Faktor eksternal adalah realitas obyektif dan faktor internal merupakan potensi subyektif.  Bertemunya realitas obyektif dengan potensi subyektif inilah yang  biasanya menyulut terjadinya tindakan kekerasan guru pada siswa. Hukuman yang dilatari amarah dan dendam, berpotensi memberikan efek buruk terhadap perkembangan psikologis anak. Sehingga dengan alasan apapun, tindakan menghukum siswa secara fisik, hingga kini cukup sulit untuk bisa dibenarkan. 

 Realitas sehari-hari di kalangan pendidik, memberikan hukuman kepada siswa yang bersalah dalam bentuk hukuman fisik, adalah hal lumrah karena pada batasan tertentu, guru kerap berhadapan dengan kelompok siswa yang memang memiliki tingkat kenakalan atau perilaku negatif yang tidak bisa dihentikan hanya dengan verbalism. Nasehat yang lembut, gertakan, sampai ancaman pemanggilan orangtua, terkadang menjadi hal yang sia-sia. Bila kejadian seperti ini berlanjut dan berulang, guru akan dihinggapi rasa frustasi dan merasa tidak dihargai. Kita bisa menerka, sebagai manusia biasa, amarah guru mudah tersulut dan tanpa disadari,  amarah yang terakumulasi dapat menjebol batas kesabaran guru. 

Teori behavior yang juga diadopsi sistem pendidikan kita pada dasarnya mengakomodir pemberian hukuman ini. Namun hukuman hanya diberikan ketika penguatan untuk sebuah perilaku tidak berhasil. Dan ketika hukuman diperlukan, harus diberikan seringan mungkin. Penting diingat, dalam dunia pendidikan, hukuman tidak diberikan untuk melahirkan siksaan. Hukuman digunakan sebagai instrumen usaha mengembalikan perilaku anak ke arah yang lebih baik diiringi dengan pemberian motivasi agar mereka menjadi pribadi imajinatif, kreatif, dan produktif. Hukuman diberikan untuk menghentikan perilaku anak yang salah sekaligus juga untuk mengajar dan mendorong anak untuk memiliki kesadaran menghentikan perilakunya yang salah. 

Dalam keseharian, guru cenderung suka memberikan hukuman negatif karena hasilnya dapat langsung terlihat dimana anak menghentikan perilaku negatifnya saat itu juga. Selain itu guru juga terkadang memberikan hukuman yang tidak berkorelasi dengan kesalahan yang dilakukan. Misalnya mengusir siswa yang ribut dari kelas, memberikan hukuman berdiri di depan kelas untuk siswa yang tidak mengerjakan PR, atau berlari keliling lapangan karena terlambat. Lantas bagaimana cara memberikan hukuman mendidik namun memiliki efek jera untuk mengurangi perilaku negatif anak? Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan di antaranya guru harus bersikap dan bertindak tegas dalam menyampaikan alasan mengapa suatu perilaku dilarang dan dibolehan sehingga siswa paham dan menjadi segan membantah atau menolak.

Konsisten, artinya antara guru satu dengan guru lainnya sepaham mana perilaku yang benar dan mana perilaku yang salah. Contoh sikan inkonsistensi, guru yang satu menghukum siswa yang terlambat masuk kelas tetapi guru lain tidak; memberikan hukuman yang proporsional dan korelatif, misalnya siswa yang memecahkan kaca diberikan hukuman mengganti kaca yang pecah bukan dengan hukuman lompat kodok di lapangan terbuka ; Berikan hukuman yang edukatif, misalnya siswa yang tidak mengerjakan PR dihukum melakukan wawancara, membaca buku dan menuliskan hasil bacaannya. 

 Apabila pemberikan hukuman melalui cara-cara serta segala daya telah diupayakan guru tidak juga berhasil mengubah perilaku anak, mungkin jalan terakhir dan terbaik bagi sekolah adalah mengembalikan si anak kepada orangtuanya. Berkaca pada kasus-kasus yang telah terjadi sebelumnya, guru kini mesti ekstra hati-hati dalam memberikan hukuman pada siswa. Sebab, sedikit saja salah dalam memberikan hukuman, guru bisa tergelincir dalam lubang hukum. Agar para guru terhindar dari persoalan hukum atau dituduh sebagai pelaku tindak kekerasan, sebaiknya guru menghindari memberikan hukuman yang bersifat negatif pada anak. 

Hukuman yang bersifat negatif tersebut di antaranya: menggunakan kekerasan seperti pukulan, cubitan, cambukan karena anak yang mendapat hukuman keras cenderung untuk berbohong dibanding anak yang jarang mendapat hukuman keras. Marah besar karena dapat menimbulkan trauma mendalam yang terbawa sampai mereka dewasa. Berkata kasar seperti tolol, goblok, setan kamu, kurang ajar, akan melukai perasaan anak dan dapat menghilangkan rasa percaya diri. Anak yang sering mendapatkan makian kasar cenderung tidak mengembangkan kemampuannya dan justru menarik diri dari lingkungan sosialnya. Tanpa harus tergiring dalam perdebatan benar tidaknya tindakan guru Nurmayani dalam memberikan hukuman, kita wajib mendorong dan menyuarakan pendidikan dalam hal ini dinas pendidikan dan kepala daerah memberikan perlindungan atau bantuan hukum yang proporsional terhadap yang bersangkutan karena tindakannya terhadap siswa masih dalam kerangka menjalankan profesinya mendidik anak. Sehingga penyelesaian masalah-masalahan secara non hukum, seharusnya dapat dicapai tanpa merugikan siapapun. 

Penahanan Guru Nurmayani, tanpa menutup mata pada apa yang dialami oleh siswa korban, dapat kita pastikan memberikan efek psikis yang sangat berat ditanggung yang bersangkutan terkait profesinya sebagai pendidik. Penahanan sang guru, yang rasanya mustahil melarikan diri atau menghilangkan barang bukti,  selain akan menelantarkan ratusan siswa didikannya, juga bakal menenggelamkan kepercayaan dirinya untuk mengajar dan mendidik. Kita berharap, kasus Guru Nurmayani memberikan hikmah kepada seluruh guru di tanah air untuk lebih reflektif dan tidak menjadi apatis dalam mendidik.

Dimuat Di Harian Radar Subar Edisi Rabu 18 Mei 2016
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Wilayah Sulawesi Barat
2.        Kontak Person 085242669933/08114202576
3.        Email : hilmanpaturusy@gmail.com