Refleksi atas penahanan Guru Nurmayani di Bantaeng
Berita penahanan guru Nur-mayani
oleh aparat hukum di Kabu-paten Bantaeng karena dugaan tindak kekerasan pada
siswanya, pertengahan Mei 2016 kemarin, telah membuat pela-ku pendidikan
terhenyak. Penahanan tersebut menjadi pembicaraan hangat khususnya di kalangan
guru-guru bah-kan meluas hingga ke sosial media. Sebenarnya kita tidak
benar-benar terkejut dengan berita ini karena berb-agai kasus dugaan tindak
kekerasan oleh guru terhadap siswa, sudah sering menghias media massa baik
cetak maupun on line.
Di kalangan guru-guru, kasus-kasus pemberian hukuman pada siswa yang berujung di ranah hukum tentu
saja meresahkan karena adanya kesadaran diri bahwa posisi mereka sangat rawan
mengalami kejadian yang sama dengan guru terduga pelaku kekerasan yang harus
mendekam dibalik jeruji. Jika tidak berhati-hati dalam berinteraksi dengan
siswa, maka guru akan dengan mudah terperangkap pada tuntutan hukum. Apalagi dengan adanya undang-undang
perlindungan anak, ‘kekuasaan’ guru terhadap peserta didik kian mengecil. Zaman memang sudah berubah. Dahulu, orangtua
menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada guru. Orangtua bisa menjadi
malu bila mendapat laporan tentang pelanggaran atau perilaku tidak terpuji
anaknya di sekolah sehingga laporan akan dilanjutkan orangtua dengan memberikan
hukuman tambahan pada si anak.
Tak heran bila era tahun 70-an sampai 90-an,
siswa-siswa enggan melaporkan kekerasan yang dialami di sekolah kepada
orangtuanya. Kebalikannya saat ini, orangtua
mudah geram saat menerima laporan sepihak dari anaknya. Tanpa verifikasi ke
pihak sekolah, ada orangtua yang amukan di sekolah dan ada mengadu ke pihak
berwajib.
Terlepas dari pergeseran pola perilaku orangtua masa kini, layak kita menyimak kajian disertasi Dr
Djamal dari UIN Sunan Kalijaga tentang tindak kekerasan di sekolah. Mengapa
guru menjadi mudah memberikan hukuman fisik kepada siswa? Djamal mengungkapkan ada dua penyebab utama. Pertama,
faktor internal yang meliputi rendahnya kompetensi guru dalam mengelola kelas,
masalah dalam keluarga, masalah kesehatan fisik, disposisi agresif, dan
kerentanan emosi. Kedua, faktor eksternal yang meliputi pelanggaran tata tertib
sekolah, siswa ribut saat pembelajaran, sikap dan perilaku siswa yang dianggap
meremehkan guru.
Faktor eksternal adalah realitas obyektif dan faktor internal
merupakan potensi subyektif. Bertemunya
realitas obyektif dengan potensi subyektif inilah yang biasanya menyulut terjadinya tindakan
kekerasan guru pada siswa. Hukuman yang dilatari amarah dan dendam, berpotensi memberikan
efek buruk terhadap perkembangan psikologis anak. Sehingga dengan alasan
apapun, tindakan menghukum siswa secara fisik, hingga kini cukup sulit untuk bisa
dibenarkan.
Realitas sehari-hari di kalangan pendidik, memberikan hukuman kepada siswa yang bersalah
dalam bentuk hukuman fisik, adalah hal lumrah karena pada batasan tertentu,
guru kerap berhadapan dengan kelompok siswa yang memang memiliki tingkat
kenakalan atau perilaku negatif yang tidak bisa dihentikan hanya dengan verbalism.
Nasehat yang lembut, gertakan, sampai ancaman pemanggilan orangtua, terkadang menjadi
hal yang sia-sia. Bila kejadian seperti ini berlanjut dan berulang, guru akan
dihinggapi rasa frustasi dan merasa tidak dihargai. Kita bisa menerka, sebagai
manusia biasa, amarah guru mudah tersulut dan tanpa disadari, amarah yang terakumulasi dapat menjebol batas
kesabaran guru.
Teori behavior yang juga diadopsi sistem pendidikan kita pada dasarnya mengakomodir
pemberian hukuman ini. Namun hukuman hanya diberikan ketika penguatan untuk
sebuah perilaku tidak berhasil. Dan ketika hukuman diperlukan, harus diberikan
seringan mungkin. Penting diingat, dalam dunia pendidikan, hukuman tidak
diberikan untuk melahirkan siksaan. Hukuman digunakan sebagai instrumen usaha mengembalikan
perilaku anak ke arah yang lebih baik diiringi dengan pemberian motivasi agar
mereka menjadi pribadi imajinatif, kreatif, dan produktif. Hukuman diberikan
untuk menghentikan perilaku anak yang salah sekaligus juga untuk mengajar dan
mendorong anak untuk memiliki kesadaran menghentikan perilakunya yang salah.
Dalam keseharian, guru cenderung suka memberikan hukuman negatif karena hasilnya dapat langsung
terlihat dimana anak menghentikan perilaku negatifnya saat itu juga. Selain itu
guru juga terkadang memberikan hukuman yang tidak berkorelasi dengan kesalahan
yang dilakukan. Misalnya mengusir siswa yang ribut dari kelas, memberikan
hukuman berdiri di depan kelas untuk siswa yang tidak mengerjakan PR, atau
berlari keliling lapangan karena terlambat. Lantas bagaimana cara memberikan
hukuman mendidik namun memiliki efek jera untuk mengurangi perilaku negatif anak?
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan di antaranya guru harus bersikap
dan bertindak tegas dalam menyampaikan alasan mengapa suatu perilaku dilarang
dan dibolehan sehingga siswa paham dan menjadi segan membantah atau menolak.
Konsisten, artinya antara guru satu dengan guru lainnya sepaham mana perilaku
yang benar dan mana perilaku yang salah. Contoh sikan inkonsistensi, guru yang
satu menghukum siswa yang terlambat masuk kelas tetapi guru lain tidak;
memberikan hukuman yang proporsional dan korelatif, misalnya siswa yang
memecahkan kaca diberikan hukuman mengganti kaca yang pecah bukan dengan
hukuman lompat kodok di lapangan terbuka ; Berikan hukuman yang edukatif,
misalnya siswa yang tidak mengerjakan PR dihukum melakukan wawancara, membaca
buku dan menuliskan hasil bacaannya.
Apabila pemberikan hukuman melalui cara-cara serta segala
daya telah diupayakan guru tidak juga berhasil mengubah perilaku anak, mungkin
jalan terakhir dan terbaik bagi sekolah adalah mengembalikan si anak kepada orangtuanya.
Berkaca pada kasus-kasus yang telah terjadi sebelumnya, guru kini mesti ekstra hati-hati dalam
memberikan hukuman pada siswa. Sebab, sedikit saja salah dalam memberikan
hukuman, guru bisa tergelincir dalam lubang hukum. Agar para guru terhindar
dari persoalan hukum atau dituduh sebagai pelaku tindak kekerasan, sebaiknya guru
menghindari memberikan hukuman yang bersifat negatif pada anak.
Hukuman yang
bersifat negatif tersebut di antaranya: menggunakan kekerasan seperti
pukulan, cubitan, cambukan karena anak yang mendapat hukuman keras cenderung
untuk berbohong dibanding anak yang jarang mendapat hukuman keras. Marah besar karena dapat
menimbulkan trauma mendalam yang terbawa sampai mereka dewasa. Berkata kasar seperti tolol, goblok,
setan kamu, kurang ajar, akan melukai perasaan anak dan dapat menghilangkan
rasa percaya diri. Anak yang sering mendapatkan makian kasar cenderung tidak
mengembangkan kemampuannya dan justru menarik diri dari lingkungan
sosialnya. Tanpa harus tergiring dalam perdebatan benar tidaknya tindakan guru Nurmayani dalam memberikan hukuman, kita wajib mendorong
dan menyuarakan pendidikan dalam hal ini dinas pendidikan dan kepala daerah memberikan perlindungan
atau bantuan hukum yang proporsional terhadap yang bersangkutan karena
tindakannya terhadap siswa masih dalam kerangka menjalankan profesinya mendidik
anak. Sehingga penyelesaian masalah-masalahan secara non hukum, seharusnya dapat
dicapai tanpa merugikan siapapun.
Penahanan Guru Nurmayani, tanpa menutup mata
pada apa yang dialami oleh siswa korban, dapat kita pastikan memberikan efek
psikis yang sangat berat ditanggung yang bersangkutan terkait profesinya
sebagai pendidik. Penahanan sang guru, yang rasanya mustahil melarikan diri
atau menghilangkan barang bukti, selain
akan menelantarkan ratusan siswa didikannya, juga bakal menenggelamkan
kepercayaan dirinya untuk mengajar dan mendidik. Kita berharap, kasus Guru
Nurmayani memberikan hikmah kepada seluruh guru di tanah air untuk lebih reflektif
dan tidak menjadi apatis dalam mendidik.
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Wilayah Sulawesi Barat
2. Kontak Person 085242669933/08114202576
3. Email : hilmanpaturusy@gmail.com
Casinos Near Harrah's Casino and Maricopa - MapyRO
BalasHapusCasinos Near 목포 출장안마 Harrah's Casino and Maricopa 삼척 출장샵 · 1. The Borgata Hotel 양산 출장샵 Casino & Spa · 나주 출장마사지 2. Harrah's Resort 부천 출장샵 Atlantic City · 3. Golden Nugget Atlantic City · 4.