Semua guru pasti pernah ditanya oleh
muridnya (kecuali guru yang menutup pintu dialog). Berbagai pertanyaan dapat
dilontarkan oleh murid, mulai yang dapat dijawab dengan mudah, samar-samar,
sampai pertanyaan yang memang tidak bisa dijawab. Jika pertanyaan murid mudah
dijawab, mungkin itu tidak menjadi masalah. Namun bagaimana jika ada murid yang
pertanyaan yang benar-benar kita tidak tahu? Apa yang harus guru lakukan? Beberapa
guru mungkin pernah merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini.
Guru dengan tipe tidak siap
menghadapi pertanyaan-pertanyaan cenderung menutup diri dengan berbagai cara
dan alasan. “Pura-pura” sibuk tidak mau
diganggu atau memberikan kesan terburu-buru, sehingga murid yang kritis akhirnya
mengurungkan niatnya bertanya. Beberapa guru
mengalami krisis kepercayaan diri memang cenderung menghinggapi guru saat harus
mengajar di kelas berlevel pandai. Tidak
heran bila ada guru yang menolak secara halus bila ditugaskan mengajar di kelas
unggulan.
Realitas sesungguhnya Guru adalah
manusia biasa, BUKAN ensiklopedia berjalan. Guru pasti punya keterbatasan dan guru
pasti punya tepi. Masalahnya adalah bagaimana menyampaikan pada murid agar
mereka paham dan mau menerima keterbatasan tersebut. Sejumlah “petuah” pernah
dikemukakan guru-guru senior. Seorang
guru yang pengabdiannya hampir 20 tahun dengan bijak mengatakan“Jangan pernah
jatuh dihadapan murid. Kalaupun harus jatuh, jatuhlah dengan indah”. Sebuah nasihat yang sarat makna terutama bagi
guru-guru pemula. Filosofinya sederhana, guru adalah sosok yang ditiru, digugu,
dan diteladani, jadi guru tidak boleh “cacat”
di mata murid-muridnya. Singkatnya guru adalah sosok jelmaan ilmu
pengetahuan yang sempurna.
Petuah bijak dari guru senior ini
dapat diartikan positif sebagai motivasi bagi guru untuk terus meng update isi kepalanya dengan berbagai
pengetahuan. Pesan yang ingin disampaikan rekan guru adalah jangan pernah
terlihat bodoh di depan murid. Seandainya guru memang tidak dapat memberikan
jawaban cobalah memberikan saran dimana jawaban itu dapat ditemukan. Paul
Brandwein pernah menyatakan bahwa guru seharusnya tidak berkata “Saya tidak
tahu”, mereka harus berkata “Itu bukan bidang saya”. Mungkin Paul Brandwein
bercanda.
Saya jadi teringat sebuah perkuliahan
Dr Sutrisno dan Prof Dr Herawaty Susilo di Universitas Negeri Malang. Saat
mengajar kedua dosen ini betul-betul mengajar tanpa beban. Setiap pertanyaan mahasiswa yang memang tidak dapat
mereka jawab selalu dikatakannya terus terang. “Saya belum tahu itu” atau “saya
tidak tau”. Mahasiswa akhirnya bukannya memandang remeh beliau tapi justru berbalik
mengagumi keterusterangan mereka. Saya jadi susah membedakan sisi postitif antara
sikap berterus terang dengan sikap berpura-pura tahu jika ditinjau dari
perspektif siswa. Misalnya apakah anak SMP siap menerima jika guru menjawab “saya
tidak tahu” atas pertanyaan mereka. Apakah jawaban pragmatis itu justru tidak
membunuh rasa ingin tahu siswa atau mengikis kepercayaan mereka pada guru?
Seorang penulis buku sains terkenal,
Tik L. Liem menuliskan guru yang baik adalah guru memiliki rasa humor. Tidak berarti
guru itu harus seorang pelawak atau terus-terusan membuat cerita lucu. Rasa humor
yang baik artinya guru harus mampu melihat kesalahannya sendiri serta menertawakan
dirinya sendiri. Guru secara leluasa
dapat mengatakan “Saya tidak tahu” dan terkadang para siswa memang mengharapkan
guru mengatakan tersebut atas beberapa pertanyaan mereka. Tapi,
guru seyogyanya menyarankan tempat yang dapat memberikan jawaban untuk pertanyaan
mereka. Guru harus tetap optimis dan
bergembira menghadapi berbagai pertanyaan-pertanyaan antusias siswa.
0 komentar :
Posting Komentar