Usai menyaksikan the famous sunrise, destinasi selanjutnya adalah ke TKP utama yaitu
Gunung Bromo. Masih menggunakan pick up, rombongan kami pun meluncur turun
menyusuri jalan yang masih berkelok-kelok. Menurutku kontur jalan dari
Penanjakan ke Bromo terbilang curam. Kirinya jurang sebelah kanannya hutan.
Kendati sudah diaspal, sopir dituntut waspada. Kondisi kendaraan, terutama rem,
harus dalam performa terbaik. Sebab jika saja rem tiba-tiba blong, ya
sudah…gelap! Di beberapa titik, ada papan peringatan “gunakan gigi 1 turunan
curam”. Maksudnya dengan gigi 1 , laju kendaraan akan berkurang karena adanya
engine break jadi sopir tidak perlu
menekan pedal rem terus menerus. Bisa hangus tu kampas.
Sebelum benar-benar mencapai puncak dan menyaksikan kawah gunung yang disucikan penduduk tengger itu, kami harus melewati 250 anak tangga yang terjal. Beruntung hari itu bukan hari libur sehingga tangga yang lebarnya cuman satu meter itu tidak disesaki pengunjung. Benar-benar melelahkan! Tapi, Alhamdulillah karena rasa penasaran yang luar biasa, aku bersama Hamzah, Hana, Titin, Yan, dan Pras sampai juga di bibir kawah. Aroma belerang pun menyeruak di hidung kami. Tepian kawah diberi pagar cor untuk keamanan pengunjung. Setiap tahun, penduduk Tengger yang beragama Hindu melabuhkan sesajen di kawah ini. Sesajen berupa hasil tani atau ternak diberikan sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur mereka terhadap Sang Pencipta.
Puas bermain di bibir kawah gunung yang sudah tiga kali meletus itu, kami pun bergegas turun. Hembusan angin yang menerbangkan pasir mulai bermunculan. Beberapa kali kami harus menutup rapat-rapat bagian kepala untuk menahan badai pasir. Sinar matahari juga semakin menyengat. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk tiba kembali di pelataran parkir. Jejak kaki kami di hamparan pasir Bromo sudah menghilang tertiup angin. Namun jejak kenangan, kekaguman, dan kebersamaan kami telah melebur dalam butiran-butiran pasir dan aroma edelweis Bromo.
0 komentar :
Posting Komentar