Salah satu tujuan
utama orang-orang berwisata ke Bromo adalah menyaksikan matahari terbit (sunrise). “Apa ya istimewanya melihat
matahari terbit? Di kampung juga tiap hari ada matahari terbit,” ujar sebagian kawan
yang enggan ke Bromo. Tetapi alasan ini
tidak meruntuhkan hasratku menjejakkan kaki di kawasan yang tekenal dengan
upacara Kasadanya itu.
Nah lanjut lagi
ceritanya…
Sambil menunggu saat
yang tepat untuk berangkat ke Penanjakan, tempat melihat matahari terbit, kami terlibat
“perdebatan kecil” jenis tumpangan yang akan
kami gunakan. Jarak Penanjakan dengan Tosari sekitar 9 km dengan kontur
menanjak (namanya juga penanjakan). Ada dua pilihan yang ditawarkan warga pada
kami, naik Jeep (hardtop) atau pick up (open cap). Jeep dan pick up sewanya sama
Rp 600 ribu pulang pergi. Bedanya, jumlah muatannya. Kalau jeep, cuma mampu muat
enam orang. Jadi, dengan rombongan sebanyak 12 orang butuh dua jeep artinya
uang yang mesti disiapkan Rp 1,2 juta. Kalau pick up muat 12 orang, jadi lebih
irit setengahnya. Selain itu, jeep lebih power full sedangkan pickup gak ada yang bisa jamin. Setelah menimbang-nimbang (tak ingin terpisah-pisah dan mmmhhh beasiswa belum cair) kami memutuskan menggunakan pick up
aja.
Bbbmmmmmmm, sebuah mitsubishi
tua jenis L300 sudah terparkir di hadapan kami. Barang-barang bawaan seperti
termos, air mineral, dan nasi, segera kami pindahkan ke atas pick up. Jadilah
kami bertumpuk-tumpuk di atas mobil berwarna coklat itu. Mobil tua itu pun merayapi
punggung penanjakan dengan gagah perkasa….
Sekitar setengah jam
kemudian, kami sudah tiba di bibir penanjakan.
Hawa dingin menusuk tajam. Suara angin yang melesat di puncak penanjakan ini
terdengar menderu. Seperti suara badai….kami betul-betul diterkam kedinginan, bbrrrrrrr.
Penanjakan ini memiliki ketinggian sekitar 2700 dpl (di atas permukaan laut). Untunglah
warung-warung di area ini menyiapkan tungku perapian yang mengurangi sedikit.
Jaket sewaan yang disiapkan pemilik
warung pun segera berpindah tempat. Harga sewanya Rp 5000. Lumayan menghangatkan
badan yang sudah berbalutkan 4 lapis kain, mulai kaos dalam, kaos luar,
sweater, dan jaket. Di tempat ini kami
segera melahap nasi yang di bawa dari Malang. Hihihihhi ayamnya ikutan
kedinginan. Makanya jadi keras.
Menjelang subuh, rombongan
kami bergegas menuju puncak Penanjakan. Jaraknya tak sampai 50 meter. Kawasan penanjakan
sangat terkenal karena merupakan point
of view paling favorit para
wisatawan menyaksikan matahari terbit dan kawasan bromo dari ketinggian. Benar saja,
di puncak ini sudah ada ratusan orang. Namun sebelum benar-benar stay, kami shalat subuh dulu. Sebenarnya
aku ingin tayammun aja saking enggannya bersentuhan dengan air. Tapi tidak ada alasan
bertayammun kalau air tersedia, makanya aku mengikhlaskan diri mengambil air
wudhu….brbbrrrrrrrr airnya duuuiiiingiiiiiiin, Shalat subuh pun sukses terlaksana walaupun
tubuh gemetaran.
Sekarang tiba saatnya
mencari posisi yang tepat mengabadikan momen sunrise. Area untuk melihat matahari terbit dipagari dengan terali
besi untuk mencegah hal-hal buruk. Aku bersama Hamzah menyelinap di antara puluhan orang. Rupanya,
selain wisatawan domestik, banyak juga pelancong dari luar negeri seperti eropa
dan China (mungkin Korea juga, gak bisa bedain). Melihat orang-orang pada
banyak menggunakan kamera DSLR, aku jadi segan mengeluarkan kamera digitalku
yang sudah butut. Namun ternyata, yang
menggunakan kamera hp tak kalah banyaknya. Ini dia beberapa momen indah di
Penanjakan...
0 komentar :
Posting Komentar